"Wakil rakyat, harusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat."
Pak Moechtar, 72 tahun, akrab dipanggil Abah. Menyanyikan lagu Iwan Fals, itu sambil mendorong gerobak barang rongsoknya. Diakhiri usai menepi, saat kakinya hinggap di serambi warung kopi.
Kucuran keringat di wajah dan leher keriputnya yang basah. Seolah tumpahan keluh seiring lagu yang dinyanyikannya, bertema perubahan nasib. Perubahan yang tidak saja harus dijuangi sendiri, tapi juga lewat tata hidup bernegara, dan wakil rakyat ialah salah satu pengemban amanatnya. Di sana, di gedung De Pe Er.
Lelaki berperawakan sedang, kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat. Ini, puluhan tahun jalani profesi tukang rongsok. Ia tetap tulus, gigih gempita menekuni roda nasib, meski ekonominya tak kunjung beranjak ke strata yang diharap. Lagu berinti tema perubahan yang dinyanyikan, jadi keluh beriring peluh, agar negara kian hadir. Jangan tidur waktu bahas rakyat!
Memang. Apalah arti lagu perubahan, bagi rakyat kecil berusia sepuh seperti Abah. Baginya, dunia telah di ujung hidup. Nyanyian perubahan, hanyalah suguhan bagi generasi muda, pemegang peran dalam dinamika. Sang sepuh, hanya bisa menyanyikan harapan, meski mungkin kosong. Mengingat nyatanya, area juang Abah kian sempit. Pandemi virus covid 19 ini misalnya, jalur keliling Abah sebagian tidak bisa dimasuki, diportal!
Bagi bapak empat anak, dan kakek dari delapan cucu ini. Perjuangan merubah nasib, cerita yang telah jadi kenangan. Kesehariannya, kini dilakoni lebih sebagai penerimaan atas nasib, yang pernah dijuangi kala penuh obsesi. Ada senang pernah beramal cerdas, dan sesal saat ingat melakukan kebodohan. Memberkatinya sadar, bahwa perubahan nasib bukanlah soal sukses materi, kenaikan profesi. Semisal dari tukang rongsok keliling, menjadi pengepul, dan naiknya derajat ekonomi. Melainkan hakikinya, tentang perubahan sikap, cara, seni menerima nasib. Profesi boleh saja tetap tukang rongsok keliling, selamanya sampai akhir umur. Namun menerima dan memaknainya sebagai jalan juang, bukan semata raihan hasil, adalah dinamika kualitas mental. Perubahan, harus berangkat dari penerimaan atas nasib, terusnya dijuangi untuk meretas kualitas hidup.
Begitu kekira muatan yang bisa diurai, bila membaca sosok Abah Moechtar. Lelaki tua periang lewat ragam lagu yang dinyanyikannya. Saat keliling dan gerobaknya berbeban berat, ia nyanyikan lagu bermuatan kritik terkait nasib orang kecil. Saat istirahat, mampir di warung kopi dan ngopi sendirian, dilantunnya lagu romantis pavoritnya dari ragam genre musik. Kalau suasana warung kopi ramai oleh sesama pengais rejeki keliling, canda dan tawa, spontan terlontar lepas darinya.
Sebenarnya di sisa usia, abah ingin fokus ibadah. Setidaknya shalat lima waktu, berjamaah di masjid dekat rumah yang dikontraknya. Tapi anak bungsunya, yang mengidap gangguan kesadaran pasca kecelakaan motor, masih menjadi tanggungannya. Memaksanya cuma bisa berjamaah saat shalat fardu malam hari, dan sesekali jadi muadzin dengan suara merdunya.
Si bungsu, selain harus dipenuhi nafkah, untuk mengurusnya juga butuh sabar. Ia tak mau tinggal bersama ketiga kakaknya yang telah berkeluarga semua. Abah juga tak mau anaknya yang lain direpoti kondisi si bungsu.
Abah senang, bahkan bangga. Bersyukur, bisa jadi sehatnya kini, berkat amanah menafkahi dan mengurus si bungsu. Meski berat, harus diterima. Itulah nikmat. Merdeka!
(Belajar pada nasib, Amat Maturidi)
Artikel Terkait
Gremeng Daon Ninjo
Dedikasi Rumah Tua
LAPANGAN JATI, MEDSOS SEJATI
Nasi Tangkar Karawang
Nasi Goreng Betawi
Buah Rukem